Kajian Tafsir: Menyembah dan Memohon Hanya Kepada Allah SWT
Ustadz Dr. Thoat Setiawan, M.H.I.
(Dekan Fakultas Agama Islam UMSurabaya, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Surabaya)
One Day One Tafsir Ayat Al-Qur’an
Edisi 8 Ramadhan 1445 H
Al-Fatihah, ayat 5
{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) }
Artinya :”Hanya Engkaulah Yang Kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”.
Qira’ah Sab’ah dan jumhur ulama membaca tasydid huruf ya yang ada pada iyyaka. Sedangkan Amr Ibnu Fayid membacanya dengan takhfif, yakni tanpa tasydid disertai dengan kasrah, tetapi qiraah ini dinilai syadz lagi tidak dipakai. karena iya artinya “cahaya matahari”. Sebagian ulama membacanya ayyaka, sebagian yang lainnya lagi membaca hayyaka dengan memakai ha sebagai ganti hamzah, sebagaimana yang terdapat dalam ucapan seorang penyair :
فَهَيَّاكَ وَالْأَمْرَ الَّذِي إِنْ تَرَاحَبَتْ … مَوَارِدُهُ ضَاقَتْ عَلَيْكَ مَصَادِرُهُ
Artinya :”Maka hati-hatilah kamu terhadap sebuah urusan bila sumbernya makin meluas, maka akan sulitlah bagimu jalan penyelesaiannya”.
Lafaz nasta’inu dibaca fathah huruf nun yang ada pada permulaannya menurut qiraah semua ulama, kecuali Yahya Ibnu Sabit dan Al-A’masy; karena keduanya membacanya kasrah, seperti yang dilakukan oleh Bani Asad, Bani Rabi’ah, dan Bani Tamim.
Al-‘ibadah menurut istilah bahasa berasal dari makna az-zullah, artinya “mudah dan taat”; dikatakan tariqun mu’abbadun artinya “jalan yang telah dimudahkan (telah diaspal)” dan ba’irun mu’abbadun artinya “unta yang telah dijinakkan dan mudah dinaiki (tidak liar)”. Sedangkan menurut istilah syara’ yaitu “suatu ungkapan yang menunjukkan suatu sikap sebagai hasil dari himpunan kesempurnaan rasa cinta, tunduk, dan takut”.
Mafid ‘yakni lafaz iyyaka’ didahulukan dan diulangi untuk menunjukkan makna perhatian dan pembatasan. Dengan kata lain, kami tidak menyembah kecuali hanya kepada Engkau dan kami tidak bertawakal kecuali hanya kepada Engkau. Pengertian ini merupakan kesempurnaan dari ketaatan. Agama secara keseluruhan berpangkal dari kedua makna ini, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf, bahwa surat Al-Fatihah merupakan rahasia Al-Qur’an; sedangkan rahasia surat Al-Fatihah terletak pada kedua kalimat ini, yakni iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’inu.
Lafaz iyyaka na’budu menunjukkan makna berlepas diri dari segala kemusyrikan, sedangkan iyyaka nasta’inu menunjukkan makna berlepas diri dari upaya dan kekuatan serta berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sepenuhnya. Pengertian ini selain dalam surat Al-Fatihah terdapat pula di dalam firman-Nya:
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَما رَبُّكَ بِغافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Artinya :”Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhan kalian tidak lalai dari apa yang kalian kerjakan”. (Hud: 123)
قُلْ هُوَ الرَّحْمنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنا
Artinya :”Katakanlah; ”Dialah Allah Yang Maha Penyayang, kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nyalah kami bertawakal”. (Al-Mulk 29)
رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا
Artinya :”(Dialah) Tuhan masyrik dan magrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung”. (Al-Muzzammil: 9)
Demikian pula ayat yang sedang kita bahas tafsirnya, yaitu:
{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}
Artinya :”Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”. (Al-Fatihah: 5)
Pembicaraan berubah dari bentuk gaibah kepada bentuk muwajahah melalui huruf kaf yang menunjukkan makna khitab (lawan bicara). Ungkapan ini lebih sesuai, mengingat kedudukannya dalam keadaan memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka seakan-akan orang yang bersangkutan mendekat dan hadir di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala Karena itu, ia mengatakan:
{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}
Artinya :”Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan”. (Al-Fatihah: 5)
Pembahasan yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa permulaan surat Al-Fatihah merupakan berita dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memuji diri-Nya sendiri dengan sifat-sifat-Nya yang terbaik, sekaligus sebagai petunjuk buat hamba-hamba-Nya agar mereka memuji-Nya melalui kalimat-kalimat tersebut. Karena itu, tidaklah sah salat seseorang yang tidak mengucapkan surat ini. sedangkan dia mampu membacanya. Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Ubadah ibnus Samit yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda:
«لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ»
Artinya :”Tidak ada salat (tidak sah salat) orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab”.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui hadis Al-Ala Ibnu Abdur Rahman maula Al-Hirqah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda:
«يقول اللَّهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُهَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ إِذَا قَالَ الْعَبْدُ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ قَالَ اللَّهُ: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ قَالَ اللَّهُ: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ قَالَ اللَّهُ مَجَّدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ اهْدِنَا الصِّراطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِراطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ»
Artinya :”Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Aku bagikan salat buat diri-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian; satu bagian untuk-Ku dan sebagian yang lain untuk hamba-Ku. dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.” Apabila seorang hamba mengatakan, “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam,” maka Allah berfirman, “Hamba-Ku telah memuji-Ku.” Apabila dia mengatakan, “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,” Allah berfirman, “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku”. Apabila dia mengatakan, “Yang menguasai hari pembalasan,” Allah berfirman, “Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku”. Apabila dia mengatakan, “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan,” maka Allah berfirman, “Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi kamba-Ku apa yang dia minta.” Apabila dia mengatakan, “Tunjukilah kami jalan yang lurus (yaitu) jalan orang-orang yang telah: Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan) mereka yang sesat, maka Allah berfirman. Ini untuk hamba-Ku, dan bagi hambaku apa yang dia minta”.
Dahak mengatakan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu bahwa makna iyyaka na’budu ialah “Engkaulah Yang kami Esakan. Hanya kepada Engkaulah kami takut dan berharap, wahai Tuhan kami, bukan kepada selain Engkau”; Wa iyyaka nasta’inu maknanya “dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan untuk taat kepada-Mu dalam semua urusan kami”.
Qatadah mengatakan, makna iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’inu ialah “Allah memerintahkan kepada kalian agar ikhlas dalam beribadah kepada-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya dalam semua urusan kalian”. Sesungguhnya lafaz iyyaka na’budu didahulukan atas lafaz iyyaka nasta’inu tiada lain karena ibadah kepada-Nya merupakan tujuan utama, sedangkan meminta tolong merupakan sarana untuk melakukan ibadah, maka didahulukanlah hal yang lebih penting.
Apabila ada suatu pertanyaan, “Apakah makna nun dalam firman-Nya, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’inu?” Jika makna yang dimaksud untuk jamak, ternyata yang berdoa hanya seorang; jika yang dimaksud sebagai ta’zim (menganggap diri besar), maka tidak sesuai dengan konteksnya.
Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa makna yang dimaksud ialah “menyampaikan berita tentang jenis dari hamba-hamba Allah, sedangkan orang yang melakukan salat adalah salah seorang dari mereka; terlebih lagi jika dia berada dalam salat jamaah atau menjadi imam mereka, berarti sebagai berita tentang dirinya dan saudara-saudaranya yang mukmin bahwa mereka sedang melakukan ibadah yang merupakan tujuan utama mereka diciptakan, dan dia menjadi perantara bagi mereka untuk kebaikan”.
Sebagian di antara mereka ada yang mengatakan, boleh mengartikannya untuk tujuan ta’zim, dengan pengertian bahwa seakan-akan dikatakan kepada hamba yang bersangkutan, “Apabila kamu berada dalam ibadah, maka kamu adalah orang yang mulia dan kedudukanmu tinggi.” Dia mengatakan:
{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}
Artinya :”Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan”. (Al-Fatihah: 5)
Tetapi apabila kamu berada di luar ibadah, jangan sekali-kali kamu katakan ‘kami’, jangan pula kamu katakan ‘kami telah melakukan’, sekalipun kamu berada di tengah-tengah seratus, seribu, bahkan sejuta orang, karena semuanya berhajat dan membutuhkan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa lafaz iyyaka na’budu mengandung makna lebih lembut daripada iyyaka ‘abadna dalam hal berendah diri, mengingat lafaz kedua ini mengandung makna membesarkan diri karena dia menjadikan dirinya sebagai orang yang ahli melakukan ibadah. Padahal tiada seorang pun yang mampu beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ibadah yang hakiki, tiada pula yang dapat memuji-Nya dengan pujian yang layak buat-Nya.
Ibadah merupakan suatu kedudukan yang besar, seorang hamba menjadi terhormat karena mengingat dirinya sedang berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala Salah seorang penyair mengatakan:
لَا تَدْعُنِي إِلَّا بِيَا عَبْدَهَا … فَإِنَّهُ أَشْرَفُ أَسْمَائِي
Artinya :”Jangan kamu panggil aku melainkan dengan julukan ‘hai ham-baNya’, karena sesungguhnya nama ini merupakan namaku yang terhormat”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menamakan Rasul-Nya dengan sebutan ‘hamba-Nya’ dalam tempat yang paling mulia, yaitu di dalam firman-Nya:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلى عَبْدِهِ الْكِتابَ
Artinya :”Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepada hamba-Nya”. (Al-Kahfi: 1)
وَأَنَّهُ لَمَّا قامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ
Artinya :”Dan bahwasanya ketika hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembahnya”. (Al-Jin: 19)
سُبْحانَ الَّذِي أَسْرى بِعَبْدِهِ لَيْلًا
Artinya :”Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam”. (Al-Isra: 1)
Dalam ayat-ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala menamakannya dengan sebutan “hamba” di saat Dia menurunkan wahyu kepadanya, di saat dia berdiri dalam doanya, dan di saat dilakukan isra kepadanya. Kemudian Allah memberikan petunjuk kepadanya agar mengerjakan ibadah di saat-saat dia mengalami kesempitan dada karena orang-orang yang menentangnya mendustakannya, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِما يَقُولُونَ. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ. وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Artinya :”Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (salat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)”. (Al-Hijr. 97-99)
Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya meriwayatkan dari sebagian ulama bahwa kedudukan ubudiyyah lebih mulia daripada kedudukan risalah, mengingat keadaan ibadah timbul dari makhluk, ditujukan kepada Tuhan Yang Mahahak. Sedangkan kedudukan risalah datang dari Tuhan Yang Mahahak ditujukan kepada makhluk. Ar-Razi mengatakan pula, “Dikatakan demikian karena Allah-lah Yang memegang semua kemaslahatan hamba-Nya, sedangkan Rasul memegang kemaslahatan-kemaslahatan umatnya. Akan tetapi, pendapat ini keliru dan pengarahannya lemah, tidak ada hasilnya.” Dalam hal ini Ar-Razi tidak menyebutkan penilaiannya terhadap kelemahan yang terkandung di dalamnya, tidak pula mengemukakan sanggahannya.
Sebagian ulama sufi mengatakan bahwa ibadah itu adakalanya untuk menghasilkan pahala atau untuk menolak siksa. Mereka mengatakan bahwa pendapat ini pun kurang tepat, mengingat tujuannya ialah untuk mengerjakan hal yang menghasilkan pahala. Bila dikatakan tujuan ibadah ialah untuk memuliakan tugas-tugas yang ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, pendapat ini pun menurut mereka (para ulama) dinilai lemah, bahkan pendapat yang benar ialah yang mengartikan “hendaknya seseorang beribadah kepada Allah untuk menyembah Zat-Nya Yang Mahasuci lagi Mahasempurna”. Mereka beralasan bahwa karena itu seseorang yang salat mengucapkan niat salatnya, “Aku salat karena Allah.” Seandainya salat diniatkan untuk mendapat pahala dan menolak siksaan, maka batallah salatnya.
Akan tetapi, pendapat mereka itu dibantah pula oleh ulama lain yang mengatakan bahwa keadaan ibadah yang dilakukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan berarti pelakunya tidak boleh meminta pahala atau mohon terhindar dari azab melalui salatnya itu. Perihalnya sama dengan apa yang dikatakan oleh seorang Badui:
أَمَا إِنِّي لَا أُحْسِنُ دَنْدَنَتَكَ وَلَا دَنْدَنَةَ مُعَاذٍ إِنَّمَا أَسْأَلُ اللَّهَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِهِ مِنَ النَّارِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «حَوْلَهَا نُدَنْدِنُ»
Artinya :”Adapun aku. sesungguhnya aku tidak dapat melakukan dialek-mu, tidak pula dialek Mu’az; tetapi aku hanya memohon surga kepada Allah, dan aku berlindung kepada-Nya dari neraka.” Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab, “Kami pun meminta hal yang sama”.