Nama saya Muhammad Idris, salah satu mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya yang sedang bertugas melaksanakan dakwah Ramadhan. Dalam kegiatan ini, saya bersama dua orang teman ditugaskan selama 20 hari untuk melakukan dakwah kepada masyarakat. Program dakwah ini diberi nama Mafathir (Mahasiswa ber-Fastabiqul Khairat in Ramadhan).
Program Mafathir sendiri merupakan program rutin tahunan dimana Fakultas Agama Islam dan Ma’had Umar ibn al-Khaththab UMSurabaya mengirimkan da’i ke berbagai titik di Jawa Timur. Pada tahun ini, terdapat 46 titik yang menjadi lokasi pengabdian mahasiswa UMSurabaya tersebut.
Saya bersama dua orang teman bertugas di Pulau Bawean. Mitra dari kegiatan mahasiswa tersebut adalah Masjid Al-Husaini yang dikelola Pimpinan Cabang Muhammadiyah Tambak, Pulau Bawean, Kabupaten Gresik.
Pada saat terjadinya gempa pertama, sekitar pukul 11.15 kami sedang bersiap sedang melaksankaan Shalat Jumat di Masjid Al Hosaini. Suasana saat itu cukup hening menyambut naiknya imam ke atas mimbar. Tiba-tiba kami merasakan bahwa masjid yang kami tempati seperti diayun-ayun. Sontak banyak jamaah berhamburan ke halmaan masjid, menyisakan beberapa yang masih bertahan di dalam masjid namun tetap dalam kondisi siaga.
Setelah dirasakan gempa berhenti total, masyarakat kembali masuk ke dalam masjid dan melanjutkan Khutbah dan Shalat Jumat. Usai shalat jumat, sebagian warga pulang ke rumah, dan beberapa masih berada di masjid untuk berbindang-bincang. Tiba-tiba kami kembali merasakan gempa, meskipun tidak sebesar sebelumnya.
Kami-pun mencari kabar melalui internet tentang gempa yang terjadi. Meskipun kabar mengatakan bahwa gempa yang terjadi tidak berpotensi menimbulkan Tsunami, namun terdapat kekhawatiran air naik mengingat gempa susulan yang terjadi dalam selisih waktu yang tak lama.
Seusai shalat ashar, ketika berada di rumah penginapan tiba-tiba terjadi gempa dengan ayunan yang lebih kuat dan durasi yang lebih lama. Sontak saja warga di sekitar penginapan kami keluar rumah. Beberapa saat kemudian, warga di tempat kami tinggal mengungsi ke lokasi yang lebih tinggi. Ada yang mengungsi ke lapangan desa tak jauh dari pemukiman, ada pula yang di rumah saudara di tempat lebih tinggi.
Mitra yang kami tempati, yakni Bapak Mahen Rais, memilih untuk mengungsi di rumah saudaranya. Beliau juga mengajak kami untuk turut serta mengungsi. Jelang maghrib, kami memilih untuk kembali ke rumah penginapan karena dirasa cukup aman.
Ketika hampir memasuki waktu isya, terjadi kembali gempa meskipun durasinya tidak terlampau besar. Namun karena terjadi ketika hari sudah memasuki malam, tentu hal tersebut membuat warga menjadi gelisah. Akhirnya banyak warga yang kembali memutuskan untuk mengungsi, termasuk kami yang kembali dijemput untuk menginap di rumah saudara dari bapak Mahen. Kami mengungsi hingga hari Sabtu sore, dan memutuskan kembali ke penginapan setelah masyarakat yakin bahwa keadaan sudah benar-benar tenang.
Desas-Desus Masyarakat
Gempa ini bukan hal baru bagi masyarakat. Namun demikian, gempa yang dirasakan saat itu jauh lebih besar daripada yang telah terjadi sebelumnya. Hal tersebut yang menjadikan kekhawatiran masyarakat akan terjadinya *Tsunami cukup tinggi.
Ditambah lagi, gempa tersebut terjadi pada pada hari Jumat di tengah bulan Ramadhan. Tak ayal, pada sebagian masyarakat banyak yang mengungkit hadits (yang kemudian diketahui bahwa ternyata itu adalah hadits Dlaif) bahwa apabila terjadi bencana di hari Jumat bulan Ramadhan, maka bermakna akan terjadi huru hara besar setelahnya.
Sampai di sini, tugas kami sebagai mahasiswa yang berdakwah menjadi bertambah. Selain tentu juga menjadi relawan kebencanaan, kami juga harus sedikit “banting setir” dengan menyiapkan materi-materi kultum maupun kajian yang relevan dengan apa yang terjadi saat itu.
Hingga beberapa hari setelah kejadian gempa yang menghebohkan tersebut, kami masih merasakan gempa-gempa susulan yang kecil atau bahkan hampir tidak terasa. Namun demikian, terhitung hari senin (25/3) kajian rutin sudah bisa dimulai kembali.
Ketika terjadi gempa, tentu saja kami sangat merasa khawatir. Terlebih kami sebagai da’I pendatang yang tidak memiliki siapa-siapa di tengah pulau tersebut. Namun di sisi lain, kami-pun juga harus bersikap tenang di tengah peristiwa yang ada. Kami tak henti senantiasa mengajak masyarakat untuk beristighfar, memohon kebaikan kepada Allah Ta’ala.
Yang tak kalah heboh adalah juga masuknya puluhan pesan dan telepon ke handphone kami untuk menanyakan kondisi. Wajar saja jika teman maupun keluarga merasa khawatir. Namun yang sangat disayangkan adalah beredarnya berita-berita palsu di internet yang menganggap peristiwa gempa yang terjadi di lokasi lain dan waktu berbeda dianggap seolah-olah terjadi di Bawean. Berita tak benar tersebut menambah kekhawatiran keluarga dan kerabat kami.
Butuh Uluran Tangan
Saat ini kami sudah pulang ke rumah masing-masing, karena telah menyelesaikan* tugas 20 hari di tempat dakwah. Tentu saja ini menjadi hari-hari yang penuh dengan kisah. Sampai saat ini, masih menjalin silaturrahim secara daring dengan mitra maupun warga di lokasi dakwah.
Lokasi tempat kami bertugas memang cukup terdampak, namun belum terlalu mengkhawatirkan. Di wilayah lain, gempa yang terjadi membawa dampak yang cukup parah. Mulai dari bangunan yang roboh, maupun masyarakat yang masih berada di wilayah pengungsian.
Tentu ini membutuhkan uluran tangan dari para muhsinin untuk sedikit mengurangi kesedihan yang dialami masyarakat Bawean. Bantuan dalam bentuk apapun tentu sangatlah membahagiakan, baik berupa kegiatan relawan psikososial, dakwah keagamaan, maupun juga bantuan material.
Semoga Bawean dapat segera kembali bangkit pasca gempa.