Sekelumit Kisah di Sekitar Pilpres 2019 Dejavu di Pilpres 2024
Di tulis dalam narasi cerita ringan untuk mendapatkan gambaran cerita dari sudut pandang pelaku peristiwa
Agus Maksum
Pelaku Peristiwa dalam pusaran Pilpres 2019 & 2024
Di tengah keramaian dan kegaduhan dunia cyber dalam pertarungan Pilpres yang tak pernah reda, sebuah kisah yang terurai penuh intrik dan permainan kecerdasan sedang berkembang. Cerita ini berlangsung di tengah gejolak politik sebuah negeri yang tengah menyelenggarakan hajat pemilihan presiden, di sana berkembang situasi di mana realitas dan ilusi digital berdampingan menjadi satu entitas yang menggelitik imajinasi.
Fakta kecurangan yang viral di harapkan menjadi pemicu untuk mendapatkan keadilann ( No Viral No Justice) , justru jadi frase yang sarkastik, menjadi simbol dari kepedulian publik membongkar fakta yang ber ujung pada ketidakpedulian aparat hukum terhadap kejahatan siber yang terjadi dalam sistem IT Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada pemilihan presiden.
Viral di dunia maya adalah ekspresi rakyat menuntut keadilan atas berbagai fakta entry data yang bermasalah pada Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng).
Namun, seperti pasir yang terlepas dari genggaman, kebenaran pun perlahan terkuak. Protes dan laporan yang menggema menemukan jawabannya ketika Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) mengambil keputusan dalam sebuah sidang pada April tahun 2019, Situng didapati bersalah dan KPU diberi waktu satu minggu untuk melakukan perbaikan. Akan tetapi, waktu berlalu dan Situng tak kunjung diperbaiki.
KPU kemudian dengan berani justru menyatakan bahwa Situng yang berfungsi.sebagai alat kontrol perhitungan pilpres karena dalam sejarahnya hitung manual berjenjang selalu terjadi kecurangan malah dinyatakan tidak dapat dijadikan dasar penghitungan resmi. Seolah mempertegas, hasil pemilihan presiden adalah hanya berdasarkan penghitungan manual berjenjang saja.
Ironisnya, Situng dengan segala perubahan data telah berhasil membingkai pikiran publik, menciptakan persepsi kemenangan yang sejalan dengan quick count. Upaya penggiringan opini publik tampaknya, berjalan sukses.
Di sisi lain, sebuah tim IT yang sadar akan ketidakberesan Situng bergerak cepat. Mereka melakukan koreksi atas suara yang diduga manipulatif. Hasilnya, suara yang hilang berhasil dikembalikan, dan pihak yang sebenarnya menang terungkap.
Namun, kemenangan ini menjadi pahit. Data yang telah dikoreksi oleh tim IT kehilangan kekuatan hukum, karena Situng telah didelegitimasi oleh KPU dengan pernyataan tidak berlakunya situng sebagai alat kontrol, menyusul putusan BAWASLU yang seharusnya mengharuskan KPU memperbaiki Situng. Pada titik ini, dilema muncul: apakah data koreksi itu masih relevan dan bisa bernilai hukum untuk digunakan dalam tuntutan hukum di MK?
Dalam kebingungan, tim hukum yang bertekad membatalkan hasil pemilu berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tidak sah, terombang-ambing oleh arah baru yang ditawarkan oleh seorang yang mengaku Profesor IT. Mereka membawa tim hukum ke suatu pulau dekat Singapore, di mana Profesor IT tersebut menciptakan hitungan baru yang menjanjikan kemenangan. Namun, perubahan fokus dari DPT tidak sah ke klaim kemenangan berdasarkan Situng yang telah dibatalkan, menjadi kesalahan fatal yang berujung pada kekalahan di Mahkamah Konstitusi yang tak terelakkan.
Kisah ini mengingatkan kita pada pentingnya kehati-hatian dalam menghadapi narasi yang dibangun oleh para ahli dan “profesor kompresor” yang muncul dengan pengetahuan IT mereka yang seolah-olah dapat membalikkan keadaan. Namun, dalam gelombang informasi yang membanjiri ruang publik, kebenaran seringkali terkubur di bawah tumpukan desas-desus dan klaim yang tidak berdasar.