Dari Disneyland ke Gunung Kendeng: Permainan Kekuasaan di Balik Permainan IUP (Ijin Usaha Pertambangan)
Glamor yang Terungkap dari Mafioso IUP Timah, Indocement, PT Semen Indonesia Rembang dan Intrik Kekuasaan di Indonesia.
Oleh Agus M Maksum
(Praktisi IT ex Advicer Medsos PT Semen Indonesia dalam Semen Indonesia di Rembang yang di terpa Isu Cor Kaki Warga Samin)
Di tengah hiruk pikuk kehidupan sosial media yang semakin tidak terbendung, kehidupan Harvey Moeis dan Helena Lim Tersangka Korupsi Timah 271 T menarik perhatian publik. Kekayaan mereka yang berlimpah ruah dan gaya hidup mereka yang glamor, seperti pernikahan impian di Disneyland hingga pembelian pesawat pribadi senilai 480 miliar rupiah untuk anak, membuat banyak orang bertanya-tanya dari mana asal usul kekayaan tersebut. Ternyata, kunci dari jawaban itu terletak pada IUP tambang Timah.
Penulis, yang pernah terlibat dalam penanganan isu media sosial PT Semen Indonesia, memahami betul permainan IUP bisa menghasilkan keuntungan melebihi profit Pabrik pengelola tambang itu sendiri, bagaimana kekayaan bisa diakumulasi dari permainan IUP.
Ketika isu Korupsi Timah 271 mengemuka, pikiran penulis langsung menghubungkan titik-titik peermainan tersebut pada pengalaman kasus PT Semen Indonesia Rembang, Ada kekuatan besar yang bermain di balik pembekuan IUP PT Semen Indonesia di Rembang, BUMN yang seharusnya di dukung oleh negara untuk mengelola tambang sesuai amanat konstitusi, Pabrik yang sudah di bangun senila 5 trilliun justru di hambat IUP nya oleh negara sendiri, lalu carut marut itu, Ternyata, solusi yang ditawarkan adalah menerima keberadaan penambang ilegal di sekitar lahan IUP milik PT Semen Indonesia Rembang yang ditutup.
Sementara itu, di Rembang sendiri, isu lingkungan dibuat-buat dengan mengklaim bahwa PT Semen Indonesia Rembang melanggar kawasan konservasi Gunung Kendeng. Padahal, pabrik Semen Indonesia berada jauh dari Gunung Kendeng yang terletak di Pati. Aksi demonstrasi yang melibatkan warga Samin bahkan berujung pada sebuah tragedi. Hal ini semakin rumit ketika Gunretno, yang mengaku sebagai warga Samin, penggerak demo tersebut, terungkap bukan warga samin, Apalagi, terungkap lagi bahwa di Pati, tempat Gunretno berasal, ada pabrik semen milik PT Indocement yang justru di duga kuat melanggar kawasan konservasi Gunung Kendeng.
PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, yang bukan merupakan BUMN, namun milik Heidelberg Group dari Jerman, terlihat memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Gunretno. Foto-foto pertemuan antara Direktur PT Indocement Franky Welirang dengan Gunretno menimbulkan berbagai spekulasi.
Di sisi lain, penulis saat menjadi advisor media sosial Semen Indonesia mencoba menyelidiki siapa pengacara PT Indocement di Pati yang akrab dengan Gunretno. Ternyata, pengacara tersebut adalah seorang pakar hukum tata negara yang terkemuka dan sering terlibat dalam kasus-kasus penting di Mahkamah Konstitusi, yang baru saja di ungkap keterlibatannya kepemilikannya dalam berbagai tambang dalam Podcast Kewarasan Bambang Widjoyanto.
Dalam konteks yang lebih luas, pertanyaan tentang manajemen sumber daya alam Indonesia menjadi topik hangat. Profesor Machfud MD pernah menyampaikan bahwa jika penghitungan sumber daya alam di Indonesia dilakukan dengan benar, maka dengan populasi 280 juta jiwa, setiap orang seharusnya bisa mendapatkan 20 juta rupiah per bulan. Studi ini turut didukung oleh penelitian dari KPK di bawah kepemimpinan Abraham Samad.
Kisah ini menggambarkan betapa kompleksnya permainan kekuatan di balik eksploitasi sumber daya alam di Indonesia, di mana individu-individu dengan kekuatan dan dapat menggunakan pengaruh kekuasaan dapat memanipulasi sistem untuk keuntungan pribadi dan kelompok, sering kali dengan mengorbankan kepentingan publik dan lingkungan.
Di tengah kekayaan alam yang melimpah, ironisnya banyak rakyat Indonesia yang masih hidup dalam kemiskinan. Ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan pengelolaan sumber daya menjadi topik yang sering diangkat dalam diskusi publik dan debat medsos. Penulisn, dengan pengalamannya sebagai advicer media sosial Semen Indonesia, memahami dengan jelas betapa politik dan bisnis sering kali berjalin dalam tarian yang rumit dan terkadang gelap.
Kisah Harvey Moeis dan Helena Lim hanyalah puncak gunung es dari realitas yang lebih luas. Di balik glamor dan kemewahan, ada cerita tentang bagaimana kekuatan politik dan bisnis saling menguntungkan satu sama lain. Di satu sisi, ada penambang ilegal yang tampaknya didukung oleh kekuatan besar untuk melanjutkan operasi mereka meskipun melanggar hukum. Di sisi lain, ada aktivis yang mengklaim membela hak-hak masyarakat lokal dan lingkungan hidup, tetapi tindakan mereka mungkin salah data awal miss persspsi atau bahkan memiliki motif yang lebih dalam.
Dalam kasus Semen Indonesia, ketika IUP dihentikan, beberapa orang melihat ini sebagai kemenangan bagi lingkungan dan masyarakat lokal. Namun, penulis mempertanyakan kenapa hanya IUP Semen Indonesia yang menjadi sorotan, sementara PT Indocement, yang justru memiliki pabrik di dekat Gunung Kendeng, tampaknya tidak mendapatkan perhatian yang sama. Apakah karena ada koneksi tertentu yang dilindungi? Pertemuan antara Gunretno dengan Direktur PT Indocement, juga terlibatnya Pakar Hukum Tatanegara terkenal, menimbulkan pertanyaan tentang kemungkinan adanya konflik kepentingan atau bahkan kolusi.
Kasus ini juga menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam. Profesor Machfud MD dan Abraham Samad menyatakan bahwa jika sumber daya alam dikelola dengan benar, maka kekayaan tersebut seharusnya bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Namun, realitas yang terjadi seringkali jauh dari ideal. Praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme menghambat potensi pembangunan nasional dan keadilan sosial.
Dalam lingkaran kekuasaan yang terus berputar, cerita tentang Harvey, Helena, dan Gunretno mungkin akan terus berlanjut, sebelum angin perubahan mampu menggusur dan menangkap siap orang kuat di balik Harvei Moies dan Helena Lim berhasil di bekuk.