Saturday, October 12, 2024
spot_img
CleanTexs
20240303_141948
agaddhita
UMcmps
previous arrowprevious arrow
next arrownext arrow
Shadow

Catatan Demokrasi : Ini Gedung MK Kah ?

 

No Ferry No Happy
oleh Ferry Is Mirza (fim)
Wartawan Utama 3170 PWI/WU/DP/X/2012
Sekertaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur,

Ini Gudang MK Kah ?

Pasca keputusan MK dimana publik sudah tahu hasilnya, yaitu menolak gugatan Paslon 01 dan 03, dan menetapkan Paslon 02 Prabowo Gibran sah jadi Presiden Wapres RI periode 2024-2029. Dan banyak tulisan atau komentar terkait hal tersebut di medsos. Nah, ini tulisan opini imajinasi yang beda. Silakan disimak.

SELASA pagi tadi saat melewati Jalan Medan Merdeka No 6 Jakpus, teman aktivis dari daerah yang ingin foto foto di Monas bilang “Lho itu Gudang MK kah ?” Saya timpali “Ah, kok ngaco, itu Gedung MK.”

Sebagaimana kata teman, Gudang fungsinya untuk menyimpan barang lawas. Barang tak layak pakai. Barang yang sebentar lagi dilelang, lalu diperbaiki pembeli dan dijual dengan harga miring.

Sebagaimana perlengkapan kakus (closed) yang sering kita lihat di sepanjang Jalan Dr Saharjo, Minangkabau dan Pasar Rumput Jakpus. Tampak pernak-pernik kakus seperti closed kinclong. Padahal barang itu sudah berkali-kali diamplas. Sudah perlengkapan kakus bekas pula, mana paten?

MK menjadi Gudang menyimpan masalah pelik bangsa ini, kendati ia disebut sebagai The last resort for justice seekers. Oleh karenanya, Pilpres 2024 yang ditengarai mengandung demoralisasi demokrasi, bertumpu pada MK sebagai The last resort for justice.

Penulis tidak ingin menulis soal hukum tata negara sebagai core of problem dari sengketa Pilpres 2024, tapi sekedar melihat apa yang terjadi sebagai suatu fenomena sebagaimana sifat kekuasaan yang ominpresent—ada dimana-mana menurut Michel Foucault. Termasuk ada di MK.

Suka atau tidak, sejak awal juga publik sudah diliputi prasangka, bahwa perubahan syarat usia Capres/Cawapres yang ditetapkan MK di Pilpres 2024, sebagai bagian dari teori relasi kuasanya Michel Foucault.

Kalau bukan “si Zaenudin dan Uncle Anwar Usman, maka tak mungkin ada si Samsul dalam bursa Pilpres 2024. Sesederhana itu publik melihat bursa Pilpres. Dan disinilah ditengarai terjadi kerusakan atau demoralisasi demokrasi.

Memang ini (problem etik) tampak pseudo dan unmeasurable untuk dilihat sebagai sebuah norma positivistik. Tapi meminjam istilah Rocky Gerung, bukankah yang etik itu merupakan living constitution yang tidak tertulis dalam black letter konstitusi tapi secara ontologi, diakui sebagai suatu paradigma dalam hukum yang hidup dan futuristik ?

MK hanyalah “Gudang” tempat menampung semua jeroan politik Pemilu yang sulit dipilah- pilah, mana yang masih ada protein dan mana yang mengandung kolesterol jahat. Maka apapun yang keluar dari Gudang, perlu dipilah-pilah.

Dan pada tanggal 22 April 2024, “Gudang MK” membongkar isi perutnya. Ada yang menolak dalil Pemohon ada yang melakukan dissenting opinion terkait sengketa Pilpres 2024.

Disinilah lonceng peradaban hukum kita berdentang. Jika hakim MK yang menolak dianggap sebagai barang lawas dan non faedah bagi penguatan demokrasi, maka ambil saja perspektif dari tiga hakim Saldi Isra, Heni dan Arief Hidayat yang melakukan dissenting opinion untuk memperkuat demokrasi dan futuristic hukum.

Penulis membayangkan, bila Pilpres ulang, dan Sri Mulyani harus merogoh kocek Rp.70 triliun dan terjadi “political uncertainty” di tengah external shock yang begitu kuat merontokkan ekonomi kita. Bisa- bisa rupiah jatuh tersuruk hingga melampaui fundamentalnya. Lalu terjadi social and political unrest !

Ada suara sumbang bilang, “Indak apa-apa, hutang aja, lelang obligasi” untuk cari dana Pemilu. Ini juga pendapat yang kurang pas. SBN itu biasanya dilelang untuk proyek-proyek dengan return yang predictable. Lagi pula cari utang di tengah suku bunga tinggi untuk Pemilu ulang, itu namanya cari masalah di dalam masalah.

Di usia yang tambah uzur ini, penulis selalu banyak merenung- renung, bahwa dalam setiap peristiwa, selalu ada berpasang pasangan hikmah. Ada hikmah baik dan ada pula hal buruk. Begitu pula ihwal “Gudang MK” di dalamnya ada barang bekas dan pula ada barang bagus. Tinggal pilih yang mana, sebagai perspektif untuk mengawal demokrasi setelah 2029 nanti. Sekarang sebaiknya Legowo dulu. Tapi tetap kritis terhadap rezim Prabowo Gibran.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
0FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles