Surabaya, kartanusa – Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF RI) melaksanakan kegiatan Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri di Provinsi Jawa Timur bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya di Ballroom A lantai 5 Hotel Movenpick Surabaya, Selasa (30/4/24).
Kegiatan tersebut diikuti 100 peserta terdiri dari mahasiswa, wartawan, asosiasi guru Pendidikan Agama Islam (PAI), SMK Muhammadiyah 1 Surabaya, konten kreator, serta alumni mahasiswa UM Surabaya.
Hadir pula Wakil Rektor III Bidang Inovasi, Sumber Daya Manusia, Kemahasiswaan dan Alumni UM Surabaya Dr Ma’aruf Sya’ban ST SE MAk, serta Sekretaris komisi II Lembaga Sensor Film Republik Indonesia Saptari Novia Stri SH.
Bertajuk “Memilah dan memilih tontonan”, sosialisasi budaya sensor mandiri menghadirkan narasumber diantaranya Dewan Pengawas LPP TVRI Hardly Stefano Fanelon Pariela SE MKP, Sekretaris Komisi I LSF Republik Indonesia Mukayat Al Amin MSosio, serta Dekan Fakultas Agama Islam UM Surabaya Dr Thoat Setiawan MHI.
Kepada awak media, Sekretaris Komisi I LSF Republik Indonesia Mukayat Al Amin MSosio menjelaskan, dari Lembaga Sensor Film Republik Indonesia ingin memberikan literasi dan edukasi kepada masyarakat luas tentang pentingnya untuk melakukan self sensor.
“Jadi, sensor mandiri tersebut menyangkut dimana masyarakat menonton sesuai dengan klarifikasi usia yang telah ditetapkan oleh pemerintah yakni semua smur (SU) 13+, 17+, dan 21+”, terangnya.
Selain melakukan sensor film, sambung Mukayat, pihaknya juga mengedukasi, selayaknya masyarakat memahami untuk menonton film sesuai klasifikasi usia karena tidak semua film disensor.
“Ada film-film yang tidak kita sensor tersebut muncul di media sosial atau publik misalnya di YouTube, sehingga masyarakat harus mengetahui film tersebut tepat atau tidak untuk dikonsumsi, terutama oleh anak-anak,” tuturnya.
Lanjut Mukayat, jangan sampai anak yang seharusnya kategori semua umur, menonton film yang 17+ atau 21+, maka itu akan berdampak negatif terhadap tumbuh kembang anak.
“Kami berharap dengan kegiatan ini, yakni sosialisasi gerakan nasional budaya sensor mandiri semakin diketahui masyarakat luas,” harapnya.
Sementara, Dekan Fakultas Agama Islam UM Surabaya Dr Thoat Setiawan MHI menyatakan, terkait kegiatan sosialisasi gerakan nasional budaya sensor mandiri, ada beberapa peran dari FAI UM Surabaya diantaranya,
Pertama: berkaitan dengan nilai edukasi, karena kampus bagian dari embrio pendidikan yang tentunya nilai-nilai dampak pendidikan menjadi sangat penting untuk ditanamkan kepada masyarakat yang tentunya ini menjadi salah satu konsumen film-film yang ada di Indonesia.
“Kedua, bukan hanya nilai edukasi saja, namun penanaman karakter atau akhlak juga sangat penting, karena kalau kita mengetahui bagaimana masyarakat saat ini, khususnya generasi Z yang tentunya kalau kita memahami sangat banyak dan besar berkaitan dengan paradigma dan juga tingkah laku masyarakat z, saat ini perlu untuk ditanamkan dengan nilai-nilai akhlak dimana ini menjadi tanggung jawab kampus,” tuturnya.
Ketiga, sambung Thoat, paling penting adalah komunikasi, bagaimana tujuan kampus adalah mengkomunikasikan nilai-nilai dan juga bentuk daripada norma-norma kepada masyarakat.
“Tiga poin penting tersebut merupakan salah satu penting tugas daripada Perguruan Tinggi khususnya Universitas Muhammadiyah Surabaya yang tentunya ada korelasinya dengan lembaga sensor film RI,” ujarnya.
Masih Thoat, sikap FAI khususnya UM Surabaya berkaitan dengan beredarnya film-film horor, bahwasanya LSF adalah salah satu filter atau berkaitan dengan layak atau tidaknya dikonsumsi oleh masyarakat, karena LSF mempunyai persyaratan tersendiri layak atau tidak lolosnya film tersebut.
“Maka dari itu, sikap FAI yang merupakan salah satu narasumber, secara tegas tidak melarang film-film horor, karena kami sendiri berkaitan dengan film siksa kubur misalnya, adalah merupakan bagian dari nilai-nilai edukasi bagaimana di kehidupan nanti setelah mati seperti apa keadaan di akhirat,” katanya.
Lanjut Thoat, FAI menyambut dan menarik dari sisi maslahat dan kemanfaatan dari pada film tersebut, karena sudah ada tupoksi khusus berkaitan dengan lolos tidaknya film tersebut.
“Jadi kita ambil dari pemahaman berkaitan dengan kemanfaatan penting apa yang menjadi analisa kami dalam film-film horor tersebut,” tandasnya. (yud)