Oleh Agus Maksum
DDII Jawa Timur / Praktisi IT Platform Digital Komunitas
Di balik kesunyian, melukis kata demi kata, menceritakan kisah yang hampir terlupakan, kisah yang hampir terkubur dalam debu waktu. Kisah seorang tokoh yang tidak hanya menginspirasi bangsanya, tetapi juga menorehkan tinta emas di halaman sejarah hubungan internasional. Kisah Mohammad Natsir, tokoh sentral yang menjadi penasehat bagi Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda.
Pencarian informasi tentang Nakajima, utusan PM Jepang sang tokoh sentral dalam kisah Pak Natsir sepucuk surat yang mengubah Nasib sebuah bangsa, bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami. Sumber-sumber online yang kering informasi, arsip-arsip yang mungkin telah dimakan usia, semuanya seolah berkompak menyembunyikan kisah-kisah dari masa lalu. Namun, seperti mentari yang terbit setelah malam yang gelap, sebuah harapan muncul dari sebuah kontak tak terduga.
NUIM HIDAYAT, nama yang membawa kabar angin segar. Adik dari Dr. Adian Husaini, ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, telah membaca tulisan saya, “Kisah Pak Natsir yang tidak diceritakan dalam Sejarah.” Tulisan yang telah membuat saya bertarung melawan ombak kritik dan keraguan, karena tak satu pun bukti yang dapat saya pegang erat, selain kisah dari Hamada san.
Ketika saya nyaris menyerah, Nuim Hidayat mengulurkan tangan, membawa petunjuk yang telah lama terpendam. Tulisan Nakajima tentang Pak Natsir, yang menjadi bukti kuat akan kedekatan dan pengaruh Natsir terhadap pemerintahan Jepang. Dalam tulisan itu, Nakajima mengungkap bahwa ia telah bertemu Pak Natsir hingga 200 kali, dan dengan tegas menyebut Natsir sebagai penasehat Takeo Fukuda.
Dalam kisah yang dituturkan Nuim Hidayat, ada sebuah narasi dramatis yang terungkap. Majalah Media Dakwah edisi Maret 1993 menjadi panggung dimana Nakajima menceritakan betapa besar pengaruh Natsir bagi rakyat Jepang. “Kami Banyak Belajar dari Mohammad Natsir,” begitu judul artikel yang ditulis Nakajima, sebuah pengakuan yang tidak hanya menunjukkan rasa hormat, tapi juga kedalaman hubungan antara Natsir dan Fukuda.
Nakajima mengisahkan perundingan panjang antara Jepang dengan figur-figur Islam Indonesia, di mana Natsir memainkan peranan kunci, bahkan dalam konflik internasional seperti perang Iran-Irak. Sosok Natsir, dengan kecerdasan dan pemahamannya yang luas, menjadi sumber inspirasi bagi Fukuda untuk membentuk sebuah komite yang akhirnya menjalin kontak dengan Ayatullah Hashemi Rafsanjani.
Di mata Takeo Fukuda, Natsir adalah jembatan antara Timur dan Barat, antara Dunia Islam dan kekuatan global lainnya. Dalam dunia yang terus berubah, di mana kekuatan besar berfluktuasi dan ketidakadilan menimbulkan kemarahan, Fukuda melihat Natsir sebagai sosok penting yang mampu membawa keseimbangan dan pemahaman.
Hubungan antara Natsir dan Fukuda adalah gambaran nyata dari diplomasi yang didasarkan pada saling pengertian dan kehormatan. Fukuda, yang dikenal sebagai pemimpin dari negara besar, tidak ragu merendahkan diri di hadapan Natsir, mengakui kebijaksanaan dan nasihatnya sebagai hal yang harus dijunjung tinggi.
Kisah Nuim Hidayat tentang Nakajima dan Mohammad Natsir adalah pelajaran tentang kepemimpinan yang tidak mencari kekuasaan, tetapi kebijaksanaan. Kisah yang mengingatkan kita bahwa sejarah bukan hanya sekumpulan tanggal dan peristiwa, tetapi juga rangkaian keputusan dari mereka yang berani berbicara kebenaran dan memandu dengan hati nurani.
Dengan tulisan Nakajima yang kini ada di tangan, saya tidak lagi sendiri dalam melawan arusarus skeptisisme yang menerpa. Nuim Hidayat, dengan kejelian dan ketekunannya, tak hanya menghidupkan kembali rasa harapan yang hampir padam, tetapi juga memperkuat posisi tulisan saya dengan bukti yang tak terbantahkan. Kisah Nakajima yang tercetak di lembaran Majalah Media Dakwah menjadi saksi bisu atas peran Natsir yang monumental.
Dengan tulisan Nakajima di tangan, saya merasa seperti seorang arkeolog yang telah menemukan artefak penting dari masa lalu. Informasi yang disajikan Nakajima bukan hanya memperkaya narasi yang saya bangun, tetapi juga mengubahnya menjadi epik sejarah yang terkonfirmasi. Kehadiran tulisan tersebut mengubah angin penuh kritik menjadi simfoni pengakuan dan penghormatan.
Ketika saya menyelami lebih dalam tulisan Nakajima, saya menyadari betapa pentingnya peran Natsir dalam memainkan diplomasi halus namun kuat. Tidak hanya sebagai penasihat resmi, tetapi juga sebagai pemikir visioner yang memahami kerumitan geopolitik. Keterlibatannya dalam membantu Fukuda membentuk Yayasan Bantuan Fukuda untuk Somalia adalah contoh konkret pengaruhnya yang melampaui batas negara.
Dalam kesunyian malam, saya kembali menatap layar komputer saya, kata demi kata saya rangkai untuk melanjutkan cerita yang kini telah menjadi lebih dari sekadar narasi pribadi. Ini adalah kisah tentang seorang tokoh yang telah memengaruhi jalannya sejarah, seseorang yang pemikiran dan tindakannya masih relevan dan mampu memberi pelajaran bagi generasi masa kini.
Artikel Nakajima, yang kini menjadi bagian tidak terpisahkan dari riset saya, memberikan dimensi baru dalam memahami hubungan antarbangsa. Ini adalah bukti bahwa pengaruh seorang pemikir dan pemimpin tidak hanya terbatas pada negaranya sendiri, tetapi juga mampu menjangkau dan mempengaruhi panggung internasional.
Mohammad Natsir, lewat persahabatannya dengan Takeo Fukuda, dan lewat nasihat bijaknya, telah menyentuh hati dan pikiran orang-orang di luar batas negerinya. Ia menjadi perantara antara budaya, agama, dan politik yang berbeda, membuktikan bahwa kebijaksanaan dan kebaikan tidak mengenal batas.
Dengan penemuan ini, saya merasa memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Saya harus melanjutkan apa yang telah dimulai, mengungkap lebih banyak lagi kisah-kisah yang belum terungkap, dan memastikan bahwa warisan Mohammad Natsir tidak hanya terpelihara, tetapi juga terus menginspirasi. Kisah ini bukan lagi sekadar narasi yang saya tulis, tetapi menjadi bagian dari tapestri sejarah yang harus kita kenang dan pelajari.