Dinamika, Peluang dan Tantangan Dakwah Kultural
(Kang Yoto, PAI FAI Universitas Muhammadiyah Gresik)
Bojonegoro, (1 juni 2024) saya menghadiri pengajian ngaji urip di kampung basis Muhammadiyah Bakung Kanor. Ini adalah ngaji rutin sebulan sekali yang saya menjadi fasilitator utama. Di dalam masjid yang design arsiteknya terbuka ini semua jamaah duduk sama rata. Tidak ada kelas dalam duduk. Siapapun duduk sama sama. Tidak ada elit dan alit, tidak ada alim dan awam. Forum ngaji urip tidak bepretensi untuk menilai orang lain. Tidak juga mengenalkan atau menanamkan dogma. Sebuah forum yang memberi ruang agar pesertanya melihat ke dalam diri dan bagaimana menerima seluruh dinamika kehidupan seperti apa adanya. Bagaimana masing masing belajar membaca motiv, perasaan dan pikirannya sendiri dalam dinamika kehidupan.
Harapannya setiap peserta terfasilitasi peningkatan kualitas kesadaran (kekhusuan), kualitas niat, kualitas tekad dan kualitas amal sholehnya. Mungkin ini yang menjelaskan kenapa ngaji urip ini bisa dihadiri secara terbuka oleh siapapun dari luar warga masjid irsyadussubban (baca Muhammadiyah).
Dengan model seperti ini semua yang hadir adalah nara sumber dan murid. Suasananya sendiri adalah fasilitator. Dengan demikian kehadiran saya juga murid dengan peran tambahan fasilitator aktif.
Pertanyaan yang muncul bagaimana mereplikasi pengajian kultural seperti ini di tempat lain? Bagaimana agar kelak forum ngaji urip ini terus hidup tanpa saya? Pertanyaan ini tentu saja patut direnungkan dan dijawab oleh para penggiat dan pengurus organisasi dakwah.
Tentu ! Organisasi yang berupaya melakukan dakwah kultural menghadapi beberapa tantangan yang perlu diatasi. Berikut adalah beberapa di antaranya:
1. Perubahan Budaya dan Nilai.
Organisasi harus beradaptasi dengan perubahan budaya dan nilai-nilai masyarakat. Dakwah kultural memerlukan pemahaman mendalam tentang budaya lokal agar pesan agama dapat disampaikan dengan relevan dan efektif.
2. Kesulitan dalam Integrasi.
Mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan budaya lokal bukanlah tugas yang mudah. Organisasi perlu memastikan bahwa pesan agama tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya setempat dan tetap memperkuat identitas keagamaan.
3. Penerimaan Masyarakat.
Tidak semua masyarakat terbuka terhadap dakwah kultural. Beberapa orang mungkin merasa skeptis atau enggan menerima perubahan dalam budaya mereka. Organisasi harus mengatasi resistensi ini dengan pendekatan yang bijaksana dan persuasif.
4. Keterbatasan Sumber Daya.
Pelaksanaan dakwah kultural memerlukan sumber daya seperti waktu, tenaga, dan dana. Organisasi harus mengelola sumber daya ini dengan efisien agar program dakwah kultural dapat berjalan dengan baik.
5. Kesinambungan.
Dakwah kultural memerlukan komitmen jangka panjang. Organisasi harus memastikan bahwa program-program ini berkelanjutan dan tidak hanya berlangsung sesaat.
6. Keterampilan dan Pengetahuan.
Para juru dakwah perlu memiliki keterampilan dan pengetahuan yang memadai dalam budaya lokal dan cara menyampaikan pesan agama secara kreatif. Pelatihan dan pendidikan terus-menerus diperlukan untuk meningkatkan kompetensi mereka.
Dengan kesadaran akan tantangan ini, organisasi dapat mengembangkan strategi yang efektif untuk mengatasi hambatan dan memperkuat pengaruh nilai-nilai Islam dalam budaya lokal melalui dakwah kultural. Dakwah Kultural yang berupaya menggabungkan nilai-nilai Islam dengan kompleksitas budaya manusia. Berbeda dari pendekatan yang hanya mengedepankan ajaran agama, dakwah memperhatikan aspek budaya dan meresponsnya dengan rasionalisasi dan demistifikasi. Belajar dari pengalaman Muhammadiyah selama ini ada beberapa karakteristik dakwah kultural Muhammadiyah di Indonesia:
• Rasionalisasi dan Demistifikasi.
Muhammadiyah menghadapi realitas bahwa tidak semua aspek budaya sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu, semangat modernisasi dan rasionalisasi menjadi pilar penting dalam pendekatan Muhammadiyah terhadap budaya. Dalam upayanya merespons budaya lokal, Muhammadiyah tidak sekadar menyesuaikan, tetapi juga melakukan proses demistifikasi dan demitologisasi.
• Pendekatan Moderat.
Muhammadiyah berusaha membersihkan ajaran Islam dari penyimpangan budaya dan mitos yang mungkin telah menyelinap ke dalam pemahaman masyarakat. Mereka mengadopsi pandangan yang lebih progresif dan menolak ide bahwa Islam akan menghilang dari dunia atau bahkan dari Indonesia. Muhammadiyah merangkul gagasan inovatif dan terbuka terhadap pendekatan baru dalam dakwah.
• Perubahan Konsep Ritual.
Salah satu konsep yang diubah oleh Muhammadiyah adalah konsep perwira dalam ritual, seperti pernikahan atau kematian. Mereka memilih menggantinya dengan konsep samadya, yang menekankan pada kesederhanaan dan nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam.
Dengan pendekatan progresif dan terbuka ini, Muhammadiyah tidak hanya berusaha untuk menjaga keberlangsungan Islam, tetapi juga untuk membentuk sebuah masyarakat yang lebih baik, yang didasarkan pada nilai-nilai keadilan, kesederhanaan, dan kemajuan.
Kembali belajar dari perjalanan ngaji urip di Bakung Kanor Bojonegoro implementasi forum dakwah kuktural memerlukan forum, praktek dan fasilitator dan keterbukaan para pengurusnya terhadap semua pihak yang hadir, jauh dari penghakiman dan penilaian. Menjadikan Muhammadiyah rumah yang nyaman bagi warga Mukamadiyah, Kamandulah dan gen z, abangan bahkan non Muhammadiyah. Konservatif tidak berarti radikal. Ortodok tidak berarti tertutup terhadap budaya. Gresik (2/5/2024)