Saturday, October 12, 2024
spot_img
CleanTexs
20240303_141948
agaddhita
UMcmps
previous arrowprevious arrow
next arrownext arrow
Shadow

Catatan Demokrasi : Tapera Solusi atau Beban ?

Tapera Solusi atau Beban ?

Oleh Cak Doel Wahid

Ketika pertama kali saya memasuki dunia kerja, setelah bertahun-tahun menempuh pendidikan tinggi plus beberapa bulan pengangguran, orang tua saya tidak henti-hentinya memberikan nasihat :

“prioritaskan untuk menabung dan membeli rumah”.

Rumah bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga simbol prestise dan harga diri. Mereka menekankan pentingnya memiliki rumah sebelum menikah, karena setelah itu, kebutuhan akan bertambah seiring dengan kehadiran anggota keluarga baru dan tanggung jawab finansial yang meningkat.

Dengan tekad kuat, saya mulai menabung sedikit demi sedikit. Akhirnya, terkumpul belasan juta rupiah, cukup untuk membayar uang muka rumah impian saya di pinggiran Bekasi, rumah dengan tipe 45 yang dihargai Rp 35 juta pada tahun 1997—masa Orde Baru. Untuk melunasinya, saya mencari Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan disetujui dengan cicilan Rp 300 ribu per bulan selama lima tahun. Meskipun cicilan itu memakan sekitar 50% dari gaji saya, saya rela melakukannya demi memiliki rumah sendiri. Itulah perjuangan seorang sarjana, pekerja swasta berkendara bus kota yang berhasil membeli rumah.

Banyak pemuda yang bekerja saat itu memiliki mimpi bisa membeli rumah seperti saya. Meskipun mungkin dengan gaji yang lebih kecil, mereka bisa membeli rumah dengan tipe yang lebih kecil pula, dengan harga dan cicilan yang lebih terjangkau, sekitar 25% dari gaji mereka. dengan konsekuensi jangka waktu pembayaran yang lebih lama, antara 10 hingga 20 tahun. Inilah gambaran nyata perjuangan membeli rumah di masa itu.

Beli rumah jelas beban, terutama bagi kita yang merantau dengan bekal ijazah lusuh dan dan pakaian kumal serta kolor (bukan kolor hijau). Cicilan demi cicilan dilalui bersama hembusan nafas panjang kehidupan manusia 5 tahun, 10 tahun bahkan hingga 20 tahun, tak lagi diingat agar tidak menjadi beban tiap bulan.

Sekarang, dengan hadirnya program Tapera yang hanya memotong 3% dari gaji setiap bulan untuk tabungan perumahan, muncul pertanyaan besar: Mengapa program ini menuai banyak penolakan?

Sejarah Pembangunan Perumahan

Masalah perumahan rakyat telah menjadi perhatian utama para pemimpin Indonesia sejak era kemerdekaan. Berikut adalah ringkasan kebijakan dan program utama yang telah dilaksanakan oleh berbagai pemimpin Indonesia untuk mengatasi isu perumahan rakyat:

Era Soekarno (1945-1967)

Kota Satelit dan Rumah Murah, pada era Presiden Soekarno, pembangunan perumahan mulai diarahkan untuk mendukung urbanisasi yang pesat. Salah satu inisiatif yang terkenal adalah pembangunan Kota Satelit seperti Kebayoran Baru di Jakarta, yang dimaksudkan untuk menampung populasi yang tumbuh di ibukota. Program ini juga mencakup penyediaan perumahan murah untuk rakyat.

Program Perumnas, pada akhir masa kepemimpinan Soekarno, konsep “Perumnas” (Perumahan Nasional) mulai muncul sebagai inisiatif untuk menyediakan perumahan bagi rakyat berpenghasilan rendah. Program ini bertujuan untuk membangun kawasan perumahan yang terjangkau dengan fasilitas dasar.

Era Soeharto (1967-1998)

Program Perumnas (Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional): Pada era Presiden Soeharto, program Perumnas diresmikan dan diperluas. Didirikan pada tahun 1974, Perumnas menjadi agen utama pemerintah dalam membangun dan menyediakan perumahan rakyat yang terjangkau di seluruh Indonesia. Fokusnya adalah pada pengembangan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah.

BTN dan KPR (Kredit Pemilikan Rumah): Bank Tabungan Negara (BTN) memainkan peran penting dalam menyediakan skema pembiayaan perumahan melalui program KPR. KPR menjadi instrumen penting bagi masyarakat untuk memiliki rumah dengan pembiayaan yang mudah diakses dan terjangkau.

Pengembangan Kota Baru: Soeharto juga mempromosikan pembangunan kota baru seperti Bintaro Jaya dan BSD City sebagai upaya untuk mengurangi kepadatan di Jakarta dan menyediakan perumahan yang terencana dengan baik.

Era Reformasi (1998-sekarang)

Program Satu Juta Rumah: Pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan dilanjutkan oleh Presiden Joko Widodo, pemerintah meluncurkan Program Satu Juta Rumah pada tahun 2015. Program ini bertujuan untuk membangun satu juta unit rumah per tahun bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah, baik melalui pembangunan baru maupun renovasi rumah yang ada.

BP Tapera (Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat): Pada tahun 2020, Presiden Joko Widodo mengesahkan pembentukan BP Tapera. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan dana dari pekerja dan pemberi kerja untuk membiayai kepemilikan rumah bagi rakyat. Ini merupakan upaya untuk memberikan solusi jangka panjang terhadap kebutuhan perumahan bagi masyarakat yang belum memiliki rumah sendiri.

Subsidi Perumahan: Pemerintah juga terus memberikan subsidi perumahan melalui berbagai skema seperti FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) dan SSB (Subsidi Selisih Bunga), yang dirancang untuk membuat KPR lebih terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Jadi jelas pembangunan perumahan sebagai salah satu aspek penting dalam kehidupan masyarakat memang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Amanat ini menggarisbawahi bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Berikut adalah beberapa ketentuan dan pasal dalam UUD 1945 dan peraturan turunannya yang menegaskan hal tersebut.Pasal 28 H Ayat (1).

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Tangkap Tikusnya Jangan Bakar Lumbung Padinya !

Jika anda ragu, tangkap tikusnya jangan bakar lumbung padinya, Ingat ! Program Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) diusung sebagai solusi jangka panjang bagi masalah perumahan di Indonesia. Dengan skema ini, pekerja diminta menyisihkan 3% dari gaji mereka—2,5% ditanggung oleh pekerja dan 0,5% oleh pemberi kerja untuk menabung. Dana yang terkumpul dikelola oleh Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) dan diinvestasikan dalam instrumen keuangan yang aman. Tujuannya adalah menyediakan pembiayaan yang lebih terjangkau bagi pekerja untuk membeli, membangun, atau merenovasi rumah.

Melihat harga rumah yang terus meroket, terutama di daerah perkotaan, program Tapera seharusnya menjadi angin segar bagi karyawan dan buruh yang belum memiliki rumah. Rumah sederhana (RS) dan rumah sangat sederhana (RSS) kini semakin mahal dan lokasinya semakin jauh dari pusat kota. Tapera menjanjikan pembiayaan yang lebih mudah diakses dan dapat meringankan beban keuangan banyak pekerja yang ingin memiliki rumah sendiri

Namun, di balik harapan ini, ada berbagai kekhawatiran yang membuat banyak orang skeptis terhadap Tapera.

Jelas bahwa skeptisisme rakyat terhadap BP Tapera bukanlah karena programnya yang pada dasarnya sangat pro-rakyat, tetapi lebih kepada kekhawatiran mengenai implementasi dan pengelolaan program ini.

Untuk memastikan Tapera benar-benar menjadi solusi bagi masalah perumahan dan bukan beban tambahan, pengawasan yang ketat dan keterlibatan masyarakat dalam memantau pelaksanaannya adalah kunci. Kita perlu menjaga agar BP Tapera berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Dengan begitu, Tapera bisa benar-benar menjadi alat yang efektif dalam mewujudkan impian setiap pekerja untuk memiliki rumah yang layak huni.

“Membeli Rumah adalah Beban, dan Tapera adalah solusi !”

Penulis : H. Abdul Wahid Azar, SH.

Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (PP-IPHI)

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
0FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles