Mentari Menyinari Kehidupan, Tetaplah Bersyukur
Oleh Teguh Arif Priyanto, S.Sy
Pagi ini, hampir saja mentari membangunkan saya. Hampir. Jamaah subuh di masjid depan rumah saya sudah pulang semua.
Saya terbangun dengan penuh penyesalan. Tapi beruntung, saya ingat pesan semesta, bahwa jangan bagun dengan cemberut. Akhirnya saya paksakan diri untuk merapal doa dan mencari apa saja yang perlu disyukuri.
Syukurlah, kaki saya tidak cantengen.
Syukurlah, tangan saya tidak mati rasa.
Syukurlah, jemari saya tetap di tempatnya, dan tetap utuh.
Syukurlah, rambut saya masih ribuan, tidak hilang semua.
Syukurlah, hidung saya masih berlobang dua dan masih di tempatnya.
Syukurlah, tas dan dompet saya isinya masih seperti semula. Saya khawatir tiba-tiba ada bertumpuk-tumpuk lembaran warna merah Soekarno-Hatta. Lak jadi kaget saya.
Syukurlah. Syukurlah.
Demikian, banyak yang patut saya syukuri di pagi ini yang jika saya ketik semua, jempol saya akan jadi keriting.
Begitu banyak nikmat Allah yang melekat di diri saya. Dan yang tidak melekat pun tak terhitung jumlahnya.
Lalu, kalimat “Nikmat mana lagi yang kamu dustakan” terngiang-ngiang di kuping pikiran saya.
Dan, saya pikir dan saya yakin nikmat itu pun ada di diri anda.
Maka nikmat mana lagi yang anda dustakan?
Lalu, tentang hampir keduluan mentari itu. Biasa lah, setan telah berhasil pipis di kuping saya. Hingga speaker yang hampir setara dengan Sound Horeg malang itu tak mampu menembus kalbu. Ada pintu kokoh yang dipasang setan di daun telinga saya.
Dan, apakah itu salahnya setan? Ah, bukan. Ini murni kesalahan pribadi. Tepatnya lemah iman. Iman ini sedang “letoy-letoynya”.
Kawan, kondisi ini pun harus tetap saya syukuri. Karena saya masih dianugerahi kemampuan membaca diri. Untuk itu, agar selamat iman ini. Tidak terjun terus. Maka, saya harus mampu menganalisisnya.
Dengan menggunakan strategi swot, mirip caleg yang sedang semangat semangatnya untuk meraih kursi.
Pertama, apa dan bagaimana kekuatan saya untuk meningkatkan iman ini?
Kedua, kelemahan diri ini apa saja hingga bisa saya tutup untuk tidak bangun kesiangan melulu.
Ketiga, peluang aktifitas apa saja yang harus saya lakukan agar iman ini tidak sakit terus.
Terakhir, siapa saja yang mengancam, apa saja yang mengancam, dan bagaimana pola ancaman itu bekerja kepada iman saya ini?
Semua harus saya baca dan saya analisis agar iman ini tetap utuh dan tambah gemuk.
Bukankah di dunia yang penuh tipu tipu ini yang perlu dipegang mati matian hanyalah Iman?
Dan, nyanyian penyesalan dan syukur yang ku dendangkan itu rupanya memakan waktu cukup lama, hingga mentari pun mecungul dengan senyumnya. Saya pun sadar bahwa waktu subuh telah terlewat.
Segera saya buru-buru berlari ambil air wudhu untuk menghadap sang pencipta di tengah terik yang semakin menyala.
(Penulis Tinggal di Kanor Bojonegoro)