Lalat, Letek Kopi dan Para Penjilat
Oleh Iwan Vidianto
(Penulis Sebagai Pembina Komunitas di Sekolah Keberbakatan SMAMX)
Baru saja ku selesaikan sruputan terakhir kopiku. Tiba-tiba ada seekor lalat yang hinggap di lepek. Kemudian ia bangkit. Sibuk berputar, terbang, mencari celah letek (Sisa Kopi) tepatnya di ujung kiri lepek.
Kulihat Ia hisap pelan-pelan tumpukan letek yang tampak kental itu. Pada ujung moncong mulutnya, seperti selang transfusi yang mengalirkan sensasi tersendiri. Ia terlihat begitu khusuk menyecapnya. Srupppp Achhhh….ya sebelas dua belas dengan ekspresi bapak-bapak yang sok asik ngopi lah.
Mungkin, kafein telah merasuki alam bawah sadarnya, ada semacam adiksi sejenak yang ia dapat.
Menurutku, dia adalah makhluk penyecap yang paling beruntung di muka bumi ini. Ia bisa melakukan wisata kuliner tanpa rasa tendensi apa apa. Hinggap di mana saja. Berbagai macam rasa telah ia cecap. Manis, asam, gurih, getir, pahit atau rasa apa saja yang disukai ataupun bahkan tak disukai manusia.
Aku sempat iri padanya. Mungkin kalau ia menjadi seorang manusia, bisa jadi ia menjelma menjadi manusia penyecap yang bisa bertahan hidup di semua rasa.
Ah, mungkin manusia tetap menjadi makhluk yang paling sempurna. Yang bisa memilah rasa dan aroma. Dia takkan mampu bertahan pada rasa jijik yang menjalari lidahnya. Serta tak akan mampu menjilat ludah bacin yang terlanjur ia keluarkan sendiri. Cuihhhh….
Semilir angin tak membuat lalat itu beranjak.
Ah, biarlah ia menikmatinya. Dan sepertinya aku tak sampai hati menyamakan dia dengan para penjilat di negeri ini.
Tampaknya ia lebih mulia daripada para penjilat itu.