Penyiaran, Demokrasi dan Era Society 5.0
Oleh Abdul Kholiq
(Anggota KPU Divisi Perencanaan Program Data dan Informasi Kabupaten Pasuruan 2019-2024)
Perkembangan arus teknologi saat ini memang tidak bisa terbendung lagi. Teknologi Informasi dan Telekomunikasi (TIK) tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Mulai dari anak-anak hinga orang dewasa, dari pedagang kecil hingga pengusaha besar, disadari maupun tidak sudah begitu tergantung pada TIK. Perkembangan dan berbagai penemuan di bidang TIK yang terjadi memungkinkan setiap orang dapat memanfaatkan dan mengakses internet dimanapun dan kapanpun.
Pemanfaatan TIK telah mengubah sebagian besar perilaku masyarakat secara global yang menyebabkan konektivitas di berbagai belahan dunia tidak memiliki batas (borderless), sehingga menyebabkan perubahan secara sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan yang berlangsung cepat, tak kecuali media penyiaran.
Penyiaran sebagai penyalur informasi dan pembentuk pendapat umum, perannya semakin strategis, terutama dalam mengembangkan kehidupan demokrasi. Media (baca: penyiaran) menjadi bagian yang saling terkait dalam demokrasi. Media menjadi aktor penting dalam demokrasi. Media menjadi bagian penting dalam berpolitik maupun berpemerintahan. Di negara-negara yang demokrasinya sudah mapan, media merupakan aktor penting dan dijamin keberadaannya. Bahkan, Presiden Amerika Thomas Jefferson pernah mengatakan, lebih menyukai media tanpa pemerintahan daripada suatu pemerintahan tanpa media, (Ghali, 1997:21).
Dalam praksis kontestasi pilkada sejak 2005, hingga sekarang, media mengambil peran penting dalam pesta demokrasi di tanah air, (Haboddin, 2017). Lebih lanjut, media ‘dimainkan’ saat pemilihan presiden Amerika Serikat 2008 dan 2012. Tim kampanye Obama, manajer kampanye, konsultan kampanye, dan relawan kampanye berhasil menggunakan internet dan jaringan media sosial, tidak hanya untuk mengumpulkan sumbangan kampanye, tetapi juga untuk memobilisasi pemilih.
Hal serupa juga terjadi pada kandidat presiden Perancis Sarkozy 2007, Pemilu Inggris 2010, dan Pemilu Polandia 2011 kandidat mereka telah meningkatkan profesionalisasi online kampanye. Penyiaran televisi modern dan kemajuan TIK selalu melakukan perubahan pola komunikasi politik dan pemasaran politik partai dan kandidatnya saat berhadapan dengan perubahan struktural dan budaya lingkungan pasar politik.
Jika merujuk pada pemikiran Paul Virilio, Profesor di Ecole Speciale d’Architecture dalam Lost Dimension (1991) menjelaskan, dalam dunia yang dikuasai kecepatan, peran politik ruang (geopolitics) diambil alih semacam politik waktu (chrono politics), yang di dalamnya kecepatan, percepatan, dan tempo kehidupan yang semakin cepat telah mengharuskan setiap orang untuk hidup dan bertahan dalam satu mesin dunia yang berlari kencang (dromology machine).
Dalam praktik dromologi berita (baca: penyiaran), masyarakat selalu ingin mengetahui perkembangan atau up to date dari sebuah peristiwa. Oleh sebab itu, era Society 5.0 yang terjadi sekarang ini membutuhkan transformasi di berbagai sektor. Era ini merupakan konsep yang diusung Jepang, di mana teknologi canggih, seperti Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (AI), big data, dan robotika, diintegrasikan ke dalam kehidupan masyarakat dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup manusia.
Disisi lain, dunia yang serba cepat itu menimbulkan beragam persoalan. Kemerosotan moral ini akibat fenomena sosial yang dapat dilihat dari banyaknya peristiwa di sosial media (facebook, twitter, instagram), media daring dan lain-lain yang mana dalam satu peristiwa terjadi adanya multi interpretasi, adanya hujatan, ujaran kebencian dan beberapa hal lainnya menjadi bukti masyarakat belum mampu secara positif dan adaptasi menyambut kemajuan digitalisasi serta Society 5.0.Â
Dalam pemikiran Talcott Parsons dengan teori structural functionalism, menekankan pentingnya institusi sosial dalam menjaga keseimbangan dan stabilitas dalam masyarakat. Artinya, masyarakat dalam menghadapi Era Society 5.0, sudah semestinya mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi. Individu, keluarga, dan institusi sosial maupun pemerintah harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi seperti AI dan IoT untuk mencapai keseimbangan antara inovasi dan kebutuhan manusia.
Sebagai lembaga pemerintah, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) sudah semestinya mampu beradaptasi dalam menghadapi Era Society 5.0. Sebagai lembaga quasi negara tugas dan fungsi KPID ialah pengawasan lembaga penyiaran dan mengarahkan konten penyiaran agar selaras dengan perkembangan teknologi serta menjaga nilai-nilai moral dan etika dalam masyarakat. Dalam teori Parsons, adaptation merujuk pada kemampuan sistem sosial untuk beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah.
KPID harus beradaptasi dengan perubahan teknologi penyiaran yang semakin maju, termasuk platform digital, media sosial, streaming services, dan otomatisasi teknologi yang digunakan untuk distribusi konten. Misalnya, menggunakan teknologi berbasis big data, kecerdasan buatan (AI), dan algoritma otomatis untuk memantau konten di berbagai platform digital secara lebih efisien. Hal ini memungkinkan KPID melakukan pemantauan real-time dan merespons pelanggaran penyiaran dengan lebih cepat.
Tidak kalah penting adalah KPID harus meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, agar memahami teknologi penyiaran modern, termasuk platform media sosial, OTT (Over-the-Top) media, dan algoritma konten. Dan terakhir, pembaruan akan regulasi yang mengakomodasi media baru berbasis teknologi dan digitalisasi. Sebab, tujuan utama penyiaran adalah untuk mendidik masyarakat, memperkuat budaya lokal, dan memberikan konten yang positif. Serta, mendorong konten yang tidak hanya menghibur, tetapi juga meningkatkan literasi masyarakat dalam bidang sosial, politik, dan teknologi.