Wacana Pilkada Melalui DPRD dan Relevansinya dengan Pancasila dan UUD 1945 Asli
Oleh Agus Maksum – Presidium Pusat Studi Rumah Pancasila, Anggota MPUII (Majelis Permusyawaratan Umat Islam Indonesia)
Baru-baru ini, wacana yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui musyawarah di DPRD memicu perdebatan hangat di masyarakat. Banyak yang mempertanyakan apakah ide ini merupakan langkah maju atau mundur dalam demokrasi. Dalam diskusi tersebut, berbagai pandangan bermunculan, menyoroti kelemahan dan kelebihan dari sistem pemilihan langsung maupun musyawarah.
Perdebatan yang Muncul
Beberapa orang menilai bahwa pemilihan langsung, seperti yang diterapkan saat ini, menelan biaya sangat besar dengan hasil yang sering kali tidak memuaskan. Praktik politik uang seperti serangan fajar melibatkan ratusan juta rakyat Indonesia. Bahkan, aparat keamanan terkadang terlibat dalam mengamankan modus seperti pembagian bansos politis, sehingga pengawasan menjadi sangat sulit dilakukan.
Di sisi lain, musyawarah di DPRD juga tidak lepas dari masalah, seperti praktik suap yang melibatkan segelintir anggota dewan. Kasus-kasus seperti seorang calon bupati yang harus menjual rumah demi membayar suap anggota DPRD, namun tetap kalah, menunjukkan betapa lemahnya sistem ini jika tidak ada pengawasan ketat.
Kembali ke Konsep Pancasila dan UUD 1945 Asli
Dalam konteks wacana ini, penting untuk melihat kembali landasan filosofi dan sistem kenegaraan yang dirumuskan dalam Pancasila dan UUD 1945 asli. Sistem tata kelola negara yang dirancang para pendiri bangsa berpusat pada sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Sistem ini menolak model demokrasi liberal yang hanya mengandalkan suara terbanyak (one man one vote). Sebaliknya, Pancasila menekankan pentingnya keterwakilan yang sejati melalui musyawarah dan kebijaksanaan. Oleh karena itu, lembaga-lembaga negara kita dinamakan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, bukan “lembaga keterpilihan.”
Namun, sejak awal kemerdekaan, tata kelola negara yang dirumuskan dalam UUD 1945 asli belum pernah diterapkan sepenuhnya. Sistem pemilu liberal yang diterapkan menghasilkan wakil rakyat yang terpilih berdasarkan modal besar, bukan atas dasar keterwakilan masyarakat. Kampanye masif dengan biaya besar menggantikan esensi musyawarah yang seharusnya menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Relevansi dengan Wacana Presiden Prabowo
Wacana Presiden Prabowo tentang Pilkada melalui musyawarah DPRD sebenarnya lebih dekat dengan semangat Pancasila dan UUD 1945 asli dibandingkan pemilihan langsung. Musyawarah sebagai mekanisme pengambilan keputusan mencerminkan kebijaksanaan kolektif yang menjadi inti dari sistem kenegaraan Indonesia.
Namun, implementasi musyawarah ini harus diiringi dengan pengawasan yang ketat untuk mencegah celah suap-menyuap. Selain itu, kualitas anggota DPRD sebagai representasi rakyat perlu ditingkatkan melalui seleksi yang lebih ketat, sehingga keputusan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kehendak rakyat.
Pelajaran dari Sejarah
Indonesia telah mencoba berbagai sistem politik—dari sistem parlementer, demokrasi terpimpin, hingga demokrasi liberal—tanpa pernah sepenuhnya kembali ke sistem yang dirancang dalam UUD 1945 asli. Akibatnya, bangsa ini terus bergulat dengan masalah korupsi, ketimpangan, dan ketidakadilan.
Sistem pemilu langsung yang mahal dan rawan manipulasi telah menyingkirkan nilai-nilai keterwakilan. Sementara itu, musyawarah sebagai alternatif sering kali terdistorsi oleh kepentingan segelintir elite. Oleh karena itu, tantangan kita bukan hanya memilih sistem yang tepat, tetapi juga memastikan bahwa sistem tersebut dijalankan sesuai dengan prinsip keadilan dan kebijaksanaan.
Wacana Presiden Prabowo tentang Pilkada melalui musyawarah di DPRD mengingatkan kita untuk melihat kembali nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 asli. Pemilihan langsung maupun musyawarah memiliki celah kelemahan masing-masing, namun musyawarah lebih mencerminkan semangat asli tata kelola Indonesia yang berlandaskan kebijaksanaan dan keterwakilan.
Marilah kita kembali kepada konsensus para pendiri bangsa yang telah dirumuskan pada 18 Agustus 1945. Dengan menjalankan sistem yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 asli, kita dapat mewujudkan cita-cita kemerdekaan untuk membangun bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera.