Saturday, April 19, 2025
spot_img
CleanTexs
20240303_141948
agaddhita
UMcmps
iklan_klikmu2025
previous arrowprevious arrow
next arrownext arrow
Shadow

Inspirasi Kehidupan : Korporasi, Konsesi, dan Konglomerasi, Lahirnya Oligarki Pasca Orde Baru

Inspirasi Kehidupan : Korporasi, Konsesi, dan Konglomerasi, Lahirnya Oligarki Pasca Orde Baru

Bagaimana privilese HPH menciptakan konglomerasi yang membentuk oligarki politik di era reformasi.

Bagaimana para konglomerat bisa menjadi begitu kaya? Dari mana asal usul kekayaan mereka, dan bagaimana hubungan mereka dengan politisi serta pejabat? Penguasa boleh berganti, presiden dan menteri datang silih berganti, tetapi mereka tetap berkuasa—mengendalikan ekonomi, politik, dan negara sebagai oligarki sejati.

Oleh Agus M Maksum

HPH: Dari Konsesi Hutan ke Konsolidasi Kekuasaan

Menelusuri jejak politik di balik pemberian Hak Pengusahaan Hutan dan dampaknya terhadap ekonomi dan kekuasaan di Indonesia.

Negeri ini dibangun di atas akar pohon-pohon yang rebah. Hutan-hutan yang dulu tegak berdiri, menjadi naungan bagi kehidupan, kini tinggal tunggul-tunggul yang bisu. Dari jantung Sumatra hingga rimba Papua, suara gergaji dan pekik buruh hutan menggema. Dan di atas semua itu, di ruangan berpendingin udara, di meja-meja rapat, keputusan telah dibuat: siapa yang berhak menebang, siapa yang berhak makmur.

Hak Pengusahaan Hutan, sebuah frasa yang terdengar administratif, teknokratis. Tapi di dalamnya tersembunyi peta kekuasaan. Ia bukan sekadar lisensi untuk menebang pohon, ia adalah tiket menuju istana. Karena kekuasaan, seperti hutan, bisa ditebang, dijual, dan dijadikan modal.

Di zaman itu, negeri ini tak hanya dikuasai oleh pemimpin, tapi juga oleh tangan-tangan yang lebih kuat dari sekadar pejabat birokrasi: para pemilik pabrik, para tuan tanah, mereka yang namanya tak tercantum di buku sejarah sekolah, tapi memegang kendali atas keputusan-keputusan besar.

Nama-nama itu tak dikenal di jalanan, tak dielu-elukan di alun-alun. Tapi mereka ada—duduk bersama dalam jamuan makan malam, bersulang dengan para jenderal, membicarakan angka-angka yang lebih besar dari jumlah rakyat yang akan kehilangan tanahnya.

Mereka adalah para pemilik HPH. Dengan sebuah tanda tangan, mereka memperoleh jutaan hektar hutan. Hutan yang telah ada sejak zaman sebelum republik ini bermimpi tentang kemerdekaan. Hutan yang tak pernah bertanya siapa presidennya, siapa menterinya. Hutan yang hanya tahu bertahan, hingga suatu hari negara datang dengan izin dan bulldozer.

Hutan yang Ditebang, Kekuasaan yang Bertumbuh

Di koran-koran, dalam siaran radio, dalam pidato-pidato resmi, HPH disebut sebagai bagian dari pembangunan. Kayu-kayu yang mengalir ke luar negeri disebut sebagai penyumbang devisa. Tapi tak ada yang bertanya: ke mana hasilnya? Siapa yang diuntungkan?

Mereka yang diberi hak, mereka yang duduk di puncak, tak sekadar menebang kayu. Mereka membangun dinasti. Uang yang mengalir dari hutan menjelma menjadi pabrik, menjadi perbankan, menjadi media. Mereka mendirikan partai politik, mendanai kampanye, membayar pengacara terbaik untuk menjaga nama mereka tetap bersih dalam arsip hukum.

Mereka dulu hanya pengusaha, kini mereka menjadi oligarki. Tak ada pemilu yang bisa menggulingkan mereka. Tak ada demonstrasi yang bisa mencabut akar mereka dari tanah negeri ini. Karena kekuasaan mereka bukan dari suara rakyat, tapi dari kontrak-kontrak yang ditandatangani dalam rapat tertutup, dari rekening yang mengalir di luar negeri.

Dan rakyat? Rakyat hanya melihat pohon-pohon tumbang. Mereka yang dulu bertani di pinggir hutan, kini menjadi buruh di kota. Mereka yang dulu hidup dari tanah, kini menjadi penonton yang kehilangan panggung.

Negara yang Memilih, Rakyat yang Terpinggirkan

Maka pertanyaannya: siapa yang sebenarnya dimakmurkan? Jika negara bisa memberikan privilege kepada segelintir orang, mengapa privilege itu tak diberikan kepada rakyat banyak?

Konstitusi tak pernah berbicara tentang konglomerasi. Ia berbicara tentang koperasi. Ia menyebut bahwa ekonomi harus berdasarkan asas kekeluargaan. Bahwa kesejahteraan harus milik semua, bukan milik segelintir.

Tapi lihatlah apa yang terjadi. Negara tak pernah memberi koperasi lahan jutaan hektar. Negara tak pernah memberi koperasi fasilitas kredit tanpa batas. Negara tak pernah menjadikan koperasi bagian dari perencanaan besar pembangunan nasional.

Negara tahu bagaimana menciptakan konglomerasi. Negara tahu bagaimana menjadikan seseorang kaya dalam semalam. Tapi negara enggan melakukannya untuk koperasi. Karena koperasi berarti berbagi. Koperasi berarti tak ada satu orang yang berdiri di atas yang lain.

Dan dalam politik, dalam ekonomi, dalam kekuasaan, berbagi adalah hal yang paling ditakuti.

Maka, selama privilege dan keberpihakan hanya diberikan kepada segelintir orang, selama hutan hanya menjadi alat barter kekuasaan, rakyat akan tetap menjadi penonton. Negeri ini akan tetap dijalankan oleh mereka yang dulu mendapatkan hak atas hutan, dan kini memiliki hak atas segalanya.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
0FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles